Berita 

Sekeranjang Puisi di Teras LAPAN

Bogor (Litera.co.id)- Bincang sastra yang digelar oleh rekan-rekan Dapoer Sastra Tjisaoek (DST) yang diinisiasi oleh Kek Atek di kantor Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) tak hanya membincang soal sastra ruang maya tetapi juga membincang buku puisi Ca’at Fa yang berjudul Sekeranjang Puisi Rasa Cinta untuk Mona. Buku kumpulan puisi yang diterbitkan bulan Agustus 2017 itu dicetak oleh penerbit Mata Aksara yang didirikan oleh Handoko F Zainsam.

Bincang buku ini adalah sesi kedua dan dimulai pkl 00.30 pada hari Minggu (13/8) setelah rehat sesi pertama yang digunakan untuk makan nasi goreng dan ngopi. Sesi kedua ini digelar di teras kantor LAPAN agar bincang terasa lebih santai sambil menikmati bulan yang bersinar di halaman depan kantor.

Handoko sebagai penerbit menerangkan jika pada awalnya judul buku tersebut adalah Mirip-Mirip Puisi, tapi karena khawatir jika itu akan diinterpretasikan negatif juga setelah melalui pembicaraan dengan penulisnya maka diberi judul Sekeranjang Puisi Rasa Cinta untuk Mona.

“Ternyata ada kesalahan komunikasi tentang judul buku tersebut. Ca’at Fa sebagai penulis memberi judul untuk Nona, tapi saya menulisnya untuk Mona,” tutur Handoko yang dini hari itu juga turut membacakan dua puisi dalam buku tersebut. Handoko juga menjelaskan jika beberapa judul puisi di buku tersebut harus ia tambahkan karena beberapa puisi memiliki judul yang sama. Misal puisi “Sepi” yang dibaca oleh Kek Atek dini hari itu ditambah judulnya menjadi “Sepi III (Sepi Romawi tiga)” untuk membedakan dengan judul “Sepi” yang lain.

Abah Yoyok yang melakukan seleksi pada buku itu membenarkan Handoko jika ada beberapa puisi memiliki judul yang sama.

“Cak Faat menyerahkan pada saya sekitar 700 puisi lebih. Lalu saya seleksi menjadi sekitar 190 puisi. Hampir semua puisi tersebut bercerita tentang cinta dan asmara,” jelas Abah Yoyok.

Sementara Ca’at Fa yang memiliki nama asli Sa’ad Fauzi mengatakan jika sebagian bahkan hampir semua puisi di buku tersebut pernah diterbitkan di media sosial akun fesbuknya.

“Beberapa rekan menyarankan saya agar menerbitkannya dalam bentuk buku agar terdokumentasi dengan baik,” kata lelaki berkacamata penyuka lagu-lagu Melayu yang setiap hari bisa menulis dua puisi di akun media sosialnya tersebut.

Dini hari itu sambil menikmati bulan, hampir semua yang hadir membacakan puisi yang diambil dari buku Sekeranjang Puisi Rasa Cinta untuk Mona sambil membincangkannya seperti yang dilakukan Sugiyono MP karena ia merasa memiliki vokal yang kurang baik untuk membaca puisi. Bincang buku itu berlangsung hingga pkl 02.30 untuk kemudian dilanjutkan sesi berikutnya hingga ditutup pada saat terdengar adzan Subuh.

(Mahrus Prihany)

Related posts

Leave a Comment

nineteen + 17 =